Kisah-kisah Bersantap di India



Berlibur dan icip-icip kuliner lokal memang pengalaman berkesan. Tapi ada kalanya perut dan lidah bermasalah sehingga kita kangen dengan masakan keseharian. Gara-gara bumbu rempah-rempah yang pekat tiap saat di India kami pun mencoba aman dengan prata dan kopi instan.
Saat menjelajah India bersama pasangan kami berdua awal-awal bersuka cita. Ada berbagai daftar kunjungan yang telah kami susun, kami yakin liburan akan menyenangkan. Akan tetapi liburan kami diwarnai berbagai kejutan, beberapa di antaranya tak menyenangkan.

Oke karena tema blog ini adalah kuliner kami bercerita tentang masakan saja. Saat di Bangalore kami menetap di pusat kota. Jadinya selain icip-icip masakan India kami bisa menyantap masakan umum seperti roti dan pizza. Di Bangalore saya suka pizza domino dengan bumbu ala India. Rasa bumbunya ringan dan pizzanya enak. Untuk sarapan di hotelnya juga ala kontinental, jadi perut masih amanlah.

Kesan masakan India selatan yang pekat saya alami ketika kami diajak-ajak kawan Couchsurfing untuk mencobai hidangan lokal. Saya berkata dulu pernah mencobai masakan bernama prawn masala di Puket dan menyukainya. Waktu itu sih prawn masala mirip dengan sambal goreng udang. Tapi di Bangalore alias Bengaluru masakannya berbumbu pekat, ada rasa seperti kari dan jinten. Jiahhhhhh saya menghindari bumbunya. Dan karena ditraktir saya pun pura-pura menyantap hidangan dengan senang hati padahal makanannya kutelan hiks.
Santap masala dengan prata original

Prawn masala yang agak bikin eneg
Okelah teman pun memesankan teh masala. Mohon maaf bagi orang India, bagi lidah saya yang namanya masala di negeri aslinya benar-benar bikin masalah di lidah dan perut. Teh masala berarti teh tarik yang diberi rempah-rempah. Awalnya enak dan hangat, menghabiskannya malah eneg. Okelah saya mungkin sedikit cerdi berbasa-basi tentang makanan agar tak menyinggung perasaan. Biar habis maka saya telan saja, tidak saya rasakan. Sedangkan pasangan cuek tidak menghabiskannya yang membuat saya iri.

Kupikir itu masakan 'aneh' yang terakhir bakal kami terima. Eh di kuil Rama kami diajak makan ladu. Itu tuh kue kesukaan Bima di Mahabarata. Kuenya di sini berwarna putih seperti terbuat dari adonan tepung dan susu. Sambil tersenyum teman menyodorkan ladu yang dimakannya dengan lahap. Saya dengan gagah menyantapnya dan mata seketika terbelalak. Busyet manis dan enek. Saya buru-buru minum air putih banyak-banyak. Eh dengan cerdiknya Ovi ketika melihat reaksi saya langsung mengantongi kue itu. Dan ketika teman tahu saya melahapnya eh ia malah menawarkan lagi yang saya jawab berkelit-kelit. Fiuuhhh.

Ketika di kuil ada petugas yang menawarkan makanan berwarna kuning. Duh jangan lagi deh. Saya pun berbaur di antrian biar tak harus memakannya. Lolos...leganya.

Eh saat diajak ke rumah tempat tinggalnya, ia mengajak saya makan di pinggir jalan. Ada kue yang nampak laris tapi bentuknya tak menarik. Dan tak jauh dari situ ada anjing. Saya berkelit dan pura-pura kenyang. Ovi sibuk mengalihkan pembicaraan hehehe. Di rumahnya saya tak bisa menghindar untuk menyantap magie. Seperti mie instant dengan bumbu kari yang pekat. Saya tak bisa mengelak. Masakan itu disajikan di tampah dan disantap ramai-ramai dengan teman kosnya yang lain. Di Indonesia makan beramai-ramai menunjukkan keakraban dan penerimaan. Saya sebenarnya terharu atas keramahan kawan tersebut apalagi kami baru kali pertama berjumpa dan hanya mengobrol lewat CS. Ah si Ovi cerdik dia pura-pura sibuk nelpon dan sms padahal siapa kiranya yang sia hubungi di India.

Sampai di penginapan perut saya tidak karuan. Hah padahal keesokan pagi saya harus presentasi di sebuah konferensi.

Oleh karena enggan perut kacau seusai konferensi saya ke kantin dan menghindari jamuan makan siang. Saya kuatir tak bisa menghindari tawaran menyantap masakan yang tak bisa kompromi dengan perut. Di kantin universitas tersebut ada penjual roti bakar dan es krim. Astaga ada juga es krim masala, saya berkenyit. Ada es krim buah buah badam dan es krim cokelat dengan choco chips. Akhirnya saya pilih es krim tersebut yang teksturnya agak kasar dan rasanya gurih.
Akhirnya pesan roti bakar

Es krimnya lumayan enak dengan choco chips ada juga yang berisi buah badam
Di Bengaluru kami tidak lama, kami memutuskan pergi ke New Delhi sebelum ke Manali dan Agra. Di New Delhi kami bertemu dengan kawan CS lainnya yang ganteng dan tinggi bak model. Ia nampaknya sudah terbiasa dengan turis asing dan mengajak kami menyantap prata keju dan kopi. Pratanya enak dan kami lega. Kopinya lumayanlah. Kedainya nampak agak kumuh dan berdebu dan di sekitarnya adalah penginapan murahan. Tempat tersebut tak jauh dari stasiun kereta api yang bisa dibilang suasananya seperti tahun 60-70 an.

Perjumpaan begitu singkat kami pun menuju Manali dimana sekitar 12 jam dari New Delhi. Oh ya saat di pesawat dari Bengaluru ke New Delhi ada insiden makanan. Hampir semua penumpang mondar-mandir ke toilet. Untung saya tak menyantap hidangan pesawat. Mencium aroma masakannya saja membuat saya mual. Ovi kali ini sial, ia mencicipi sedikit masakan yang kata dia tidak jelas, pahit dan getir. Ia langsung meminum air banyak-banyak.

Di Manali saya menyukai masakannya. Ya masakannya ala Tibet yang cenderung vegetarian. Kami menginap di losmen murah hanya Rp 60 ribu/malam dimana sudah termasuk kamar mandi di dalam. Untuk makan kami memesan satu porsi untuk berdua dan air panas untuk kami buat minuman. Hahaha kami sudah siap dengan aneka minuman instan seperti kopi, teh, dan cereal. Di sini prata original dan kejunya enak, teksturnya kenyal dan harum. Masakan khas Tibet seperti nasi jamurnya juga cocok di lidah. Di luar penginapan ada penjual roti yang enak dan empuk. Kulitnya yang berwarna keemasan enak digigit dan ada aroma kayu manisnya. Dia nampaknya jarang bertemu dengan wisatawan Asia Tenggara dan bingung ketika saya menyebut asal dari Indonesia.

Nasi jamur ala Tibet yang enak

Rotinya harum dengan aroma kayu manis
Perjalanan belum berakhir. Di Manali kami mengalami kesialan tapi kemudian ada keberuntungan setelah kami menghubungi kawan seorang pebisnis karpet dari Agra. Ia kawan yang sangat baik dan langsung menghubungi driver yang sungguh baik untuk menjemput kami di New Delhi dan mengantar bolak balik ke Agra.

Di Agra kamu lagi-lagi bermasalah dengan makanan. Sudah dibilang ke pemilik restonya agar masakannya jangan yang terlalu spicy, eh diberi masakan kambing yang tak jelas. Yang saya makan dengan mau menangis karena diawasi oleh pemiliknya dan menunggu pujian.

Sesampai di Indonesia kami lalu melahap masakan apa saja dan merasa senang. Lega rasanya.

Hehehe pengalaman saya mungkin berbeda dengan orang lain. Bukan berarti masakan India tidak enak tapi karena lidah saya kurang cocok untuk beberapa jenis masakannya. Daripada perut bergejolak dan diare apalagi di negeri orang maka saya putuskan hati-hati untuk bersantap.Meski ya, kadang-kadang sulit menampiknya hihihi. 

Komentar

Postingan Populer